Abdurrahman Murad
Abdurrahman Murad

Jombang Bagian 3 (Menulis Bukan Karena Pandai, Tapi Karena Perlu)

Aku nggak pernah merasa pandai menulis. Tulisanku sering berantakan. Kadang lompat-lompat. Kadang terlalu panjang. Tapi anehnya, aku tetap menulis.

Kenapa?

Karena aku butuh.

Butuh tempat buat bilang lelah, tanpa harus terlihat lemah. Butuh ruang buat jujur, tanpa harus menjelaskan semuanya. Butuh cara buat bertahan, di tengah hidup yang sibuk dan kadang nggak bisa diajak kompromi.

Pagi aku setor hafalan, siang kuliah, sore ngaji kitab, malam tugas belum selesai. Teman-teman bilang aku kuat, padahal aslinya… aku juga rapuh. Tapi karena aku nggak tahu harus cerita ke siapa, akhirnya aku tulis semua.

Buku tulis tipis jadi saksi paling setia. Di sana ada tulisanku waktu kecewa. Ada juga tulisanku waktu sedang semangat. Kadang hanya dua baris. Kadang cuma satu kalimat:
“Hari ini aku kuat, meski sedikit.”

Menulis itu seperti menyelamatkan sisa-sisa semangat yang hampir habis. Kadang, di tengah padatnya aktivitas, kita lupa siapa diri kita. Tapi saat menulis, aku merasa diingatkan kembali: bahwa aku ini manusia biasa, yang juga punya batas, juga butuh jeda.

Dan lewat menulis, aku nggak hanya belajar mengolah kata, tapi juga belajar mengolah rasa.

Aku sadar, menulis bukan hanya soal membuat cerita atau esai. Tapi soal menjaga diri agar tetap utuh. Di dunia yang serba cepat, menulis membuatku pelan. Dan justru di situ aku bisa mendengar suara hati sendiri.

Kini aku nggak lagi nulis karena tugas. Aku menulis karena ingin paham: tentang diriku, tentang hidupku, dan tentang jalan panjang yang sedang kutapaki.

Kalau orang lain bisa lari ke hobi, aku lari ke tulisan.

Dan di sanalah aku merasa tenang. Meski belum rapi. Meski masih belajar.

Karena pada akhirnya, menulis itu bukan tentang siapa yang baca. Tapi tentang bagaimana kita menyelamatkan diri sendiri—dengan cara yang paling kita mengerti.

Posting Komentar