Sampai suatu hari, aku iseng nulis satu paragraf di kertas dan kutempel di dinding kamar asrama. Bukan tulisan yang panjang. Cuma satu penggal kalimat dari isi hatiku sendiri:
“Kalau kamu capek, kamu boleh diam. Tapi jangan berhenti.”
Aku nggak tahu kenapa kutulis itu. Mungkin buat diriku sendiri. Tapi beberapa hari kemudian, ada teman yang nanya, “Eh, itu tulisan siapa? Bagus. Aku baca waktu capek, rasanya kayak dipeluk.”
Aku bengong. Nggak nyangka.
Tulisan itu ternyata dibaca. Bukan cuma dibaca—tapi dirasakan.
Hari-hari berikutnya, aku jadi lebih berani. Aku tulis satu dua kalimat lagi dan kuselipkan di papan mading pondok. Kadang kutulis tangan. Kadang pakai spidol. Kadang cuma kutempel diam-diam.
Dan... tulisanku mulai ‘hidup’.
Ada teman yang menyalin ulang ke bukunya. Ada yang motret pakai HP jadul dan jadiin wallpaper. Ada juga yang minta diajari nulis kalimat-kalimat pendek yang ‘menguatkan’.
Di situ aku sadar:
Menulis itu ternyata bukan cuma buat diriku sendiri.
Tapi bisa jadi jembatan. Bisa jadi teman. Bisa jadi penguat buat orang lain yang mungkin juga lagi berjuang diam-diam.
Padahal, aku nulis bukan karena pintar. Bukan karena hebat. Tapi karena butuh tempat buat bertahan. Dan saat orang lain ikut merasa dikuatkan... rasanya campur aduk. Senang. Kaget. Haru. Tapi juga malu.
Sejak saat itu, aku mulai berani menyimpan tulisan-tulisan kecilku. Aku simpan di buku. Kadang kuunggah ke Facebook pakai akun anonim. Kadang cuma kusimpan di saku, lalu kubaca sendiri saat malam terasa berat.
Aku masih belum percaya diriku penulis. Tapi aku percaya satu hal:
Tulisan jujur, walau pendek, bisa sampai ke hati yang tepat. Bahkan tanpa perlu tahu siapa penulisnya.
Posting Komentar