Abdurrahman Murad
Abdurrahman Murad

Jombang Bagian 5 ( masa di mana aku benar-benar ingin menyerah )

masa di mana aku benar-benar ingin menyerah.

Capek jadi santri. Capek jadi mahasiswa. Capek berpura-pura kuat di depan orang lain. Semuanya terasa menekan. Hafalan tersendat. Tugas kuliah menumpuk. Uang kiriman telat datang. Teman serumah sedang dingin. Bahkan tidur pun tak lagi bisa tenang.

Dan yang paling membuatku ingin menyerah... adalah mata kuliah falak.

Entah kenapa, bagiku hitung-hitungan arah kiblat, hisab rukyatul hilal, sampai derajat lintang bujur terasa seperti dunia asing yang tak ramah. Aku sering bengong di kelas. Ketika dosen menjelaskan pergerakan matahari, aku malah merasa pikiranku makin gelap.

Pernah aku duduk di pojok kelas sambil menatap tabel logaritma yang harus dikalikan dengan rumus yang bahkan belum aku pahami dasarnya. Teman-teman asyik mencatat. Aku malah mencoret-coret pinggir buku dengan satu kata: “bingung.”

Malam itu aku benar-benar hampir menyerah.

Aku rebah di kasur tipis beralas tikar. Lampu sudah dimatikan. Teman-teman lain mungkin sudah mimpi indah. Tapi aku... hanya menatap atap dan mencoba menahan air mata yang tiba-tiba menggenang.

Dalam hati aku bilang, “Aku nggak sanggup.”

Tapi aku nggak tahu harus cerita ke siapa. Aku takut dikira lemah. Aku takut dianggap manja. Jadi aku ambil buku catatanku. Yang biasa kupakai menulis curahan hati diam-diam.

Kugoreskan satu kalimat:

“Aku pengin berhenti. Tapi aku tahu, yang benar itu bertahan.”

Aku tulis semua isi kepalaku. Tentang rasa gagal. Tentang rindu rumah. Tentang takut mengecewakan orang tua. Tentang betapa susahnya menyeimbangkan dua dunia — pesantren dan kampus. Dan tentang falak… yang terasa seperti mata kuliah dari planet lain.

Semua kutulis. Nggak rapi. Nggak bagus. Tapi jujur.

Dan malam itu, setelah menulis dua halaman penuh, aku merasa sedikit lebih ringan. Bukan karena masalahnya hilang. Tapi karena aku merasa nggak sendirian. Setidaknya... aku punya diriku sendiri yang masih mau mendengar. Lewat tulisan.

Hari-hari berikutnya, aku tetap lelah. Falak tetap sulit. Hafalan tetap naik-turun. Tapi aku tahu: aku bisa kembali menulis, setiap kali ingin menyerah. Karena menulis, bagiku, seperti doa panjang yang tak sempat kupanjatkan saat sujud.

Bukan untuk pamer. Bukan untuk dibaca orang. Tapi untuk menyelamatkan diriku sendiri.

Sekarang aku paham, kenapa aku harus menulis.

Bukan karena aku penulis. Tapi karena aku manusia — yang lelah, yang takut, tapi tetap ingin bertahan.

Kalau kamu sedang ingin menyerah, ambillah pena. Tulis apa pun. Jangan pikirkan bagus atau jelek. Karena kadang, menulis adalah cara terbaik untuk tetap hidup, saat semuanya terasa ingin berhenti.

 

Posting Komentar