Abdurrahman Murad
Abdurrahman Murad

Jobang Bagian 7 (Ibu Sakit dan Aku Tak Bisa Pulang)

 Sore itu langit Jombang kelabu. Hujan belum turun, tapi angin sudah dingin lebih dulu. Di sudut pondok, aku baru selesai murojaah hafalan. Tubuhku letih, tapi biasa saja. Sampai sebuah pesan masuk ke HP jadulku:

“Doakan ibu ya, Nak. Tadi dibawa ke puskesmas. Dadanya sesak lagi.”

Aku terdiam. Dunia seperti berhenti sebentar.

Aku baca ulang pesan itu. Berkali-kali. Jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Tanganku gemetar. Rasanya ingin langsung pulang. Ingin lari ke Kalimantan. Ingin melihat wajah ibu. Ingin menggenggam tangannya dan bilang, “Ibu, aku di sini.”

Tapi aku tak bisa.

Tiket pesawat mahal. Jadwal kuliah dan hafalan padat. Dan aku tahu, ibu pasti juga tidak ingin aku meninggalkan semuanya demi dia. Tapi tetap saja… aku anaknya. Dan kabar itu membuat duniaku berkecamuk dalam diam.

Malam itu aku nggak bisa tidur. Seperti ada batu di dadaku. Seperti ada hujan yang turun di dalam kepalaku sendiri.

Aku ambil buku catatanku.

Kugoreskan kalimat yang entah bagaimana mengalir begitu saja:

“Ibu, maaf, anakmu cuma bisa menulis. Bukan memeluk.”

Air mataku jatuh. Aku biarkan. Aku terus tulis semuanya: tentang rasa bersalah, tentang rindu, tentang takut kehilangan. Aku tulis kenangan-kenangan kecil—waktu ibu bangunin aku subuh, waktu ibu nyuapin aku yang malas makan, waktu ibu diam-diam nangis pas aku pamit merantau.

Malam itu aku hanya bisa menulis. Dan itulah yang membuatku tetap tenang. Karena di tengah ketidak berdayaanku, menulis jadi satu-satunya bentuk cinta yang bisa kukirimkan ke rumah.

Besoknya aku tetap kuliah. Tetap setor hafalan. Tapi aku tahu, aku sedang membawa luka yang dalam. Dan satu-satunya yang membuatku bertahan adalah: aku ingin sembuh bersamaan dengan kesembuhan ibu.

Aku tulis setiap doa. Aku titipkan lewat tulisan. Di halaman-halaman buku kecilku, aku menuliskan ibu, agar tak pernah hilang dari ingatanku. Dan mungkin... agar doaku tak pernah putus, meski lidahku kelu.

Menulis tentang ibu yang sakit adalah bentuk rindu yang paling pelan dan paling tajam. Tapi juga... paling ikhlas. Karena saat jarak tak bisa dijangkau kaki, kita masih bisa menyentuh lewat kata dan doa.

Posting Komentar