Akhir Juni 2013.
Akhir semester selalu punya rasa yang aneh. Campuran antara lega, lelah, dan... rindu yang mulai memuncak. Ujian akhir baru selesai. Kitab-kitab ditutup. Kertas soal dikumpulkan. Beberapa teman langsung sibuk packing. Ada yang mudik ke Madura, Sumatra, ke Sulawesi, ke Lombok, Malaysia, dan kota lainnya. Sedangkan aku... menanti jadwal pesawat Lion Air dari Bandara Juanda, Surabaya, menuju Supadio, Pontianak.
Sudah hampir setahun aku nggak pulang. Rindu rumah sudah kutahan rapat-rapat. Kadang muncul waktu makan malam di pondok—waktu ingat masakan ibu. Kadang datang saat sakit, ketika ingin diselimuti dan ditiup keningnya seperti dulu. Tapi aku tahan. Karena katanya, santri itu harus kuat.
Tapi sekarang... aku boleh pulang.
Pagi itu aku berangkat dari Jombang naik bus ke Surabaya, bawa ransel kecil dan satu koper sedang. Isinya baju-baju sederhana, kitab tipis, dan oleh-oleh kecil buatKeponakan yang baru lahir. Di ruang tunggu Juanda, hatiku seperti diseret oleh bayangan rumah. Aku duduk sendiri sambil memegang boarding pass bertuliskan:
Lion Air JT-xxxx | Surabaya – Pontianak | Gate 3
Waktu pesawat lepas landas, aku pejamkan mata. Ada rasa syukur dan haru yang diam-diam menetes jadi air mata. Aku pulang… setelah banyak jatuh-bangun di tanah rantau. Setelah ngaji, hafalan, tugas kuliah, dan malam-malam penuh doa yang tak pernah terdengar siapa-siapa.
Sekitar dua jam kemudian, roda pesawat menyentuh landasan Supadio, Pontianak. Aku turun pelan-pelan. Langit Kalimantan berbeda. Awan seperti lebih dekat. Dan udara... seperti menyapa dengan pelukan.
Dari bandara, aku dijemput paman. Mobil melaju di jalan yang tak asing. Pohon kelapa, rumah-rumah kayu, dan pelang-pelang kecil nama masjid seperti teman lama yang menunggu sejak dulu.
Bandara Juanda terasa lebih ramai dari biasanya. Mahasiswa dan santri pulang dari berbagai penjuru. Aku duduk sendiri di ruang tunggu, memeluk tas ransel yang sudah mulai kusam. Boarding pass Lion Air ke Pontianak kuselipkan di saku baju koko. Aku tidak membawa banyak barang, hanya koper kecil dan satu kardus oleh-oleh seadanya untuk keluarga.
Ini libur semester pertama setelah aku benar-benar hidup sebagai santri dan mahasiswa. Rasanya seperti menutup satu babak panjang yang melelahkan. Hafalan Qur’an yang naik-turun, tugas kuliah filsafat yang bikin pusing, dan... mata kuliah falak yang masih jadi misteri bagiku.
Setelah setahun penuh belajar bertahan, aku merasa berhak pulang.
Penerbangan ke Pontianak seperti mimpi pendek. Aku duduk di dekat jendela, melihat awan dan daratan pulau Jawa yang pelan-pelan menghilang di kejauhan. Saat pramugari membagikan air minum, pikiranku justru sibuk membayangkan senyum ibu saat membuka pintu rumah nanti.
Beberapa jam kemudian, pesawat mendarat di Bandara Supadio.
Langit Kalimantan menyambut dengan mendung. Tapi hatiku terang.
Di luar terminal, kulihat paman melambaikan tangan. Senyum kami tak bisa disembunyikan. Dalam mobil menuju kampung, aku diam saja. Menyerap semua: pohon-pohon besar, jembatan kayu, sawah yang mulai menguning, dan rumah-rumah yang masih terasa seperti dulu.
Sampai di halaman rumah, ibu membuka pintu. Ia tak banyak bicara, langsung memelukku. Pelukan itu seperti merontokkan semua lelah. Tak ada kata yang bisa mewakili pertemuan itu selain satu kalimat pendek yang akhirnya keluar juga:
“Bu... aku kangen.”
Dan ibu menjawab sambil menepuk punggungku, “Ibu lebih.”
Liburan di rumah kali ini terasa berbeda. Aku bukan lagi anak SMA yang lari-lari di halaman masjid. Aku datang sebagai santri yang sedang belajar dewasa. Aku masih sering bingung, masih sering lelah, tapi aku juga lebih mengerti: pulang bukan sekadar kembali, tapi menyambung ulang energi yang sempat nyaris putus.Aku tidur di kamar lama. Dengar suara azan dari masjid kampung. Ngobrol sama adik-adik sambil nyemil gorengan. Dan malam-malam… aku menulis. Tentang pondok, tentang kuliah, tentang ibu, tentang kampung, dan tentang perasaan yang tidak bisa kuceritakan langsung ke siapa-siapa.
Libur semester bukan hanya jeda dari hafalan dan tugas. Tapi juga kesempatan untuk kembali jadi anak—yang bisa meringkuk dalam pelukan ibu, tanpa harus kuat setiap saat.
Posting Komentar