Lebaran baru saja selesai. Kue-kue di toples masih tersisa. Ketupat masih tergantung di dapur. Tapi hari itu, aku harus berkemas. aku tida pulang naik pesawat. Tiket kapal sudah di tangan. Waktu kembali ke pondok dan kampus telah tiba. Rasanya seperti menarik diri dari pelukan yang baru saja kembali hangat.
“Abdul, sudah dicek semua bajunya? Jangan ada yang ketinggalan ya.”
Suara ibu dari dapur membuat hatiku makin berat. Aku jawab pelan, “Sudah, Bu.” Tapi mataku tak bisa lepas dari rak buku kecil di kamar, tempat aku menyelipkan tulisan-tulisan selama Ramadan kemarin.
Ramadan tahun ini terasa seperti hadiah yang tak terduga. Setelah dua tahun terakhir aku lewati Ramadan di pondok—dengan jadwal padat, tarawih berbaris rapat, tadarus ramai sampai tengah malam—akhirnya aku bisa merasakannya kembali di rumah. Di kampungku, di pelukan ibu, di bawah langit Kalimantan yang senyap tapi teduh.
Ramadan di kampung punya rasa yang berbeda. Sahur di rumah disiapkan ibu. Sederhana, tapi penuh cinta. Kadang hanya nasi sisa semalam yang digoreng dengan kecap dan bawang merah. Tapi karena ibu yang memasak, rasanya selalu istimewa. Aku masih ingat malam pertama tarawih. Aku jalan kaki ke masjid bersama adik-adik. Jalan setapak itu dulu sering kulalui waktu kecil. Kini, langkahku terasa asing—karena aku datang sebagai perantau yang pulang sementara.
Masjid kampung tak semegah masjid pondok. Tapi justru karena itu, suasananya hangat. Suara imamnya tak seindah murottal di radio, tapi bacaan Qur’annya tulus, lambat, dan penuh harap. Di rakaat-rakaat terakhir, aku sering menahan tangis. Bukan karena doa yang panjang, tapi karena aku tahu… Ramadan ini hanya sekejap.
Aku menulis banyak saat Ramadan. Tentang suasana sahur, tentang tadarus ibu yang pelan, tentang tawa adik saat beli takjil di ujung gang. Aku tulis semuanya, karena aku tahu: momen-momen ini tak akan lama.
Dan kini, aku kembali harus pamit.
Pagi itu, ibu membangunkanku lebih awal. Udara masih lembap. Kabut tipis turun dari kebun belakang. Aku mandi dan bersiap. Tas sudah rapi. Kardus oleh-oleh dari kampung sudah disegel. Aku sarapan dengan ibu dan adik-adik. Suasananya seperti pagi-pagi biasa, tapi kami semua tahu… ini bukan pagi yang biasa.
“Nanti kalau sampai Jombang, langsung kabari ya. Jangan telat makan. Hafalan Qur’annya dijaga.”
Aku hanya mengangguk. Sulit menjawab saat hati mulai tercekat.
Di depan rumah, beberapa tetangga datang pamit. Paman datang mengantar ke pelabuhan. Di jalan, aku lebih banyak diam. Aku menatap sawah, jalan rusak yang dulu sering kulewati naik sepeda, dan masjid tua di pertigaan desa. Aku menatapnya lama, seolah ingin menyimpannya dalam ingatan.
Perjalanan menuju pelabuhan memakan waktu dua jam. Aku duduk di kursi belakang, tangan menggenggam tas kecil berisi catatan Ramadan. Di sana ada tulisan-tulisan pendek: puisi, doa, dan curahan hati yang kutulis tiap malam di kampung. Salah satunya aku tulis tepat di malam ganjil:
“Ramadan di kampung ini seperti surga kecil:
Bukan karena mewah, tapi karena hatiku ikut pulang.
Di setiap sahur ibu, di tadarus pelan adik,
Aku belajar bahwa rindu bisa sembuh jika pulang dilakukan dengan ikhlas.”
Sesampainya di pelabuhan, aku menatap laut. Airnya tenang. Seperti menenangkan perasaanku yang sedang ribut sendiri. Aku naik kapal menuju Surabaya. Di atas kapal, aku duduk dekat jendela. Menatap ombak yang pelan, seperti waktu yang berjalan tanpa bisa kucegah.
Setibanya di Surabaya, aku naik bus menuju Jombang. Perjalanan ini sudah sering kulalui. Tapi setiap kali kembali, rasanya selalu baru. Selalu ada pertanyaan yang muncul: “Aku masih sanggup nggak?”
Dan jawabannya selalu kutemukan dalam tulisan. Aku buka catatanku lagi. Aku baca ulang tulisan Ramadan. Aku ulangi baris-baris yang kutulis di malam tenang kampung halaman. Dan dari sanalah semangatku kembali. Aku ingat tujuan: kenapa dulu aku meninggalkan rumah. Kenapa dulu aku memilih jadi santri dan mahasiswa sekaligus.
Sesampainya di pondok, aku disambut wajah-wajah lelah tapi cerah. Teman-teman mulai berdatangan. Tas-tas besar berserakan di depan kamar. Suara tawa terdengar lagi. Dan entah kenapa, meski tadi berat meninggalkan rumah, sekarang aku bisa tersenyum lagi. Karena pondok ini, meski keras dan kadang menyakitkan… tetaplah rumah kedua.
Malam itu, aku rebah di kasur tipis pondok. Lampu kamar belum dipasang. Angin masuk dari jendela yang belum ditutup. Aku buka catatanku lagi. Kutulis baris baru:
“Pulang kemarin bukan akhir. Tapi jeda.
Kini aku kembali ke medan. Dengan hati yang lebih tenang.
Karena aku tahu, di kampung sana… ada ibu yang terus mendoakan,
dan di sini… ada jalan panjang yang masih harus kutempuh.”
Aku tahu, perjalanan ini belum selesai. Masih banyak hafalan yang harus dijaga, tugas kuliah yang menanti, dan malam-malam sulit yang mungkin kembali datang. Tapi aku juga tahu, aku tidak kembali dalam keadaan kosong. Aku kembali dengan bekal cinta dari rumah, dari Ramadan yang penuh kehangatan, dari pelukan ibu yang belum hilang dari ingatanku.
Posting Komentar