Di pondok ini, ada dua sosok yang selalu membuat kami diam dalam hormat, tapi sekaligus tenang dalam pengayoman: Yai Ahmad Munawwar Hidayat — yang kami panggil Bapak, dan istrinya yang penuh kelembutan Nyai Churil Jannah, kami panggil Ibu.
Bapak bukan tipe orang yang banyak berbicara. Tapi setiap kata yang keluar dari lisannya terasa dalam dan menenangkan. Kalimatnya tidak panjang, tapi bisa jadi pegangan panjang. Suaranya lembut, tapi bisa menghentikan keraguan dalam dada.
Bapak sering datang ke halaqah dengan langkah tenang. Sorban rapi di bahu, wajah penuh keteduhan. Sorot matanya lembut. Tapi cukup satu kali menatap, kami langsung sadar: ini bukan hanya guru. Ini teladan hidup. Seorang bapak sejati bagi para santri seperti kami yang jauh dari rumah.
“Santri itu, bukan soal siapa yang paling pintar. Tapi siapa yang paling tahan belajar.”
Itu kalimat beliau yang paling sering kuulang dalam hati. Bukan hanya saat semangat sedang tinggi, tapi justru saat aku mulai ragu, saat hafalan tak lagi lancar, saat dunia kuliah dan pondok terasa saling berbenturan. Kalimat itu seperti tali yang menahan hatiku agar tak jatuh.
Bapak bukan sekadar pengajar. Beliau adalah pembentuk jiwa. dari cara beliau diam, cara beliau berjalan, bahkan cara beliau membuka pintu aula pondok… semuanya seperti pelajaran diam yang membekas dalam hati kami.
Lalu ada Ibu.Beliau tidak banyak bicara di depan umum. Tapi keberadaannya... selalu terasa. Saat kami para santri kelelahan, Ibu adalah kehangatan yang tak terdengar tapi menguatkan. Saat kegiatan padat, diam-diam Ibu mengecek apakah dapur pondok cukup menyediakan makanan. Apakah kamar sudah layak ditempati. Apakah ada santri yang butuh perhatian jika sedang sakit.
Ibu tak suka disanjung, dan bahkan menolak dipanggil dengan gelar apa pun. Tapi justru karena kesederhanaan itulah beliau kami hormati dalam-dalam.
Pernah suatu malam, setelah pengajian, aku melihat beliau menyapu halaman depan aula. Tak banyak yang melihat. Tapi aku tahu… di balik gerakan sapu itu, ada cinta yang besar untuk pondok ini.
Di catatanku, aku pernah menulis:
Bapak dan Ibu, dua pribadi sederhana yang justru karena kesederhanaannya… membuat kami ingin menjadi lebih baik.“Ibu tidak memerintah, tidak mengatur, tidak memaksa. Tapi diam-diam, beliau menjaga.
Menjadi pelita yang tidak silau, tapi cukup menerangi langkah kami.”
Mereka tidak mengajar dengan banyak retorika. Tapi dengan kehidupan sehari-hari. Dengan kesabaran. Dengan keikhlasan. Dan dengan cinta yang tidak diumumkan, tapi terasa oleh setiap santri yang belajar bertahan di pondok ini.
Kami tidak diajari cara bicara yang baik. Tapi kami belajar dari cara Bapak berbicara. Kami tidak diminta mencintai Qur’an dengan paksaan, tapi kami melihat Bapak dan Ibu menjaga hafalan dan adab dengan penuh khidmat. Dan itu cukup—untuk membuat kami ikut menjaga diri.
Saat aku mulai kehilangan arah,aku melihat ketenangan Bapak dan Ibu.
Dan aku tahu… yang aku cari bukan tempat istirahat,
tapi arah hidup yang harus tetap dijaga.
Bapak dan Ibu tidak membawa obor besar.
Tapi mereka menjaga api kecil itu tetap menyala di hati kami.
Posting Komentar