Abdurrahman Murad
Abdurrahman Murad

Jombang Bagian 13 ( Dilantik Jadi Ketua Pondok )


Malam itu pondok terasa lebih hening dari biasanya.
Langit gelap tak berbintang, tapi udara terasa ringan.
Seusai salat Isya berjamaah, para santri belum kembali ke kamar. Mereka diarahkan untuk tetap duduk tenang di aula. Tak ada pengumuman resmi, tapi semua seperti sudah tahu: malam itu akan ada pelantikan pengurus pondok yang baru.

Aku duduk di barisan depan, sebelah kiri, bersama Cak Midin—teman dekatku, sahabat seperjalanan, yang sejak awal pondok selalu menjadi teman diskusi, teman setor hafalan, dan juga teman menertawakan kegagalan hafalan di pagi hari. Malam itu, Cak Midin akan dilantik sebagai Wakil Ketua.

Kami tak banyak bicara. Tapi aku tahu, hatinya sama gelisahnya dengan hatiku.

Pelantikan dimulai dengan pembacaan doa oleh salah satu ustaz. Lalu Bapak datang perlahan, mengenakan sarung dan baju koko sederhana, dengan wajah teduh dan langkah yang mantap. Ibu menyusul, duduk di sisi kanan aula. Suasana hening, tapi damai.

Satu per satu nama pengurus dibacakan. Ada yang akan jadi bendahara, sekretaris, koordinator kebersihan, keamanan, dapur, ibadah, hingga dokumentasi. Semuanya santri-santri yang selama ini diam-diam bekerja tanpa banyak suara.

Namaku disebut paling awal:

"Abdurrahman Assayuthi – Ketua Pondok."

Disusul:

"Chisamiddin Asshiddiqien – Wakil Ketua Pondok."

Aku dan Cak Midin maju bersama. Kami berdiri di hadapan Bapak.
Tanganku dingin. Tapi aku mencoba tetap tenang.

Bapak menatap kami berdua. Lalu berkata pelan, tapi dalam:

“Kalian berdua bukan sedang dilantik untuk berkuasa, tapi untuk melayani.
Jangan berlomba untuk kelihatan sibuk. Tapi berlombalah jadi yang paling sabar dan paling bisa dipercaya.
Jika ada yang tidak berjalan baik di pondok ini nanti, jangan cari kambing hitam—cari waktu malam dan banyak-banyak sujud.”

Aku dan Cak Midin mengangguk. Dalam hati, kami saling tahu: ini bukan jalan ringan.

Lalu satu per satu pengurus lain berdiri di barisan. Kami bersalaman. Tak ada peluk-pelukan. Tak ada yel-yel.
Tapi malam itu, hati kami seperti ditandai:
Kami bukan lagi sekadar santri. Kami diberi amanah.

Setelah acara selesai dan para santri kembali ke kamar, kami para pengurus baru duduk sebentar di serambi aula.

Tidak langsung rapat. Hanya duduk, minum teh, dan saling menatap sambil tertawa kecil.
Cak Midin nyeletuk:

“Besok pagi jangan telat bangun ya, Dul. Ketua harus lebih dulu bangun dari yang dibangunin.”

Aku tertawa pelan.

“Kalau ketuanya ketiduran, wakilnya jangan ikut-ikutan nyari alasan,” balasku.

Malam itu kami tidak bicara tentang program kerja, atau jadwal mingguan.
Kami hanya duduk. Menerima. Menenangkan diri.
Karena besok pagi, pondok ini akan mulai melihat kami bukan lagi sebagai santri biasa—tapi sebagai yang harus siap mendengar, siap melayani, siap kalah lebih dulu.

Sebelum tidur, aku menulis:

Malam ini aku dan Cak Midin resmi jadi ketua dan wakil.
Bukan karena kami paling layak, tapi karena kami paling harus belajar lebih dalam.

Semoga pondok ini tetap damai,
dan semoga kami tidak berubah jadi orang yang merasa tinggi,
tapi tetap jadi santri biasa... yang diberi tanggung jawab lebih

 

Posting Komentar