“Jalanan ini tidak hanya berlumpur, tapi juga menuntut niat agar tak tenggelam dalam keraguan.”
Sepagi itu, awan belum sepenuhnya membuka wajahnya. Kabut masih menggantung di ujung pematang, dan embun belum mau pergi dari rerumputan yang menjalar liar di pinggir jalan tanah. Namaku Abdul. Hari ini, aku melangkah dari rumah keperantauan. Tapi entah kenapa, langkah ini lebih terasa seperti tamasya batin dibanding tugas dinas.
Motor pinjaman dari kantor hanya mampu membawaku sampai jembatan gantung. Setelahnya, semua harus kutempuh dengan kaki sendiri. Di dalam tas selempangku, hanya ada kitab kecil, salinan bahan penyuluhan, dan sebuah buku catatan yang kubeli dari kios dekat terminal. Di halaman pertama aku tulis:
Rumah pertama yang kukunjungi berdinding kayu, sedikit miring, tapi dengan pagar bunga kertas yang masih terawat. Aku ketuk pelan. Tak lama, seorang nenek membukakan pintu. Matanya teduh, tubuhnya dibalut mukena yang belum sempat dilepas.“Jangan pernah pulang sebelum kamu belajar sesuatu dari mereka.”
“Assalamu’alaikum, Bu… saya Abdul, Guru baru dari Kota…”
Beliau tersenyum, sedikit heran, tapi tidak canggung. “Wa’alaikumussalam… masuk, Nak. Pintu rumah ini tak pernah dikunci. Yang datang pasti butuh ditemani.”
Aku diam sebentar. Ada makna dalam ucapannya yang lebih dalam dari sekadar keramahan. Dalam dunia yang penuh curiga, rumah yang terbuka adalah tanda bahwa masih ada jiwa-jiwa yang percaya pada kebaikan.
Namanya Mak Tijah. Suaminya wafat lima tahun lalu. Anak-anaknya merantau ke Kota. Di rumah kecil itu, ia tinggal sendiri. Tak banyak bicara soal agama, tapi dalam tiap geraknya tersirat ajaran yang tak diajarkan di ruang kelas.Kami bicara soal cucunya yang mulai malas mengaji, tentang pengajian ibu-ibu yang kini sepi karena lebih banyak sibuk berdagang, dan tentang masjid yang dulunya ramai, kini sunyi.
“Saya ini sudah tua, Nak. Tapi kalau ada yang mau ngajarin lagi, saya siap duduk paling depan.”
Ucapan itu membuat dadaku bergetar. Di tengah segala kesepian, masih ada harapan yang menyala kecil. Aku tahu, tugasku bukan sekadar menyampaikan materi, tapi menyalakan kembali cahaya itu, meski hanya setitik.
Sore harinya, aku menyusuri lorong kecil menuju mushola. Bangunannya seperti sedang menua sendirian. Lantainya dingin, sajadahnya tipis dan sudah berbulu. Tapi suara adzan dari seorang pemuda yang kurus dan malu-malu terdengar seperti panggilan dari langit.Namanya Arif. Ia sempat menjadi remaja masjid, lalu bosan, lalu pergi. Kini ia kembali. Sendirian.
“Mas, kalau besok mau ngajak ngaji anak-anak, aku bantuin,” katanya tiba-tiba.
Aku menoleh dan mengangguk. Tanpa sadar, kami sedang memulai sesuatu.
Malam itu aku menulis di buku catatanku:"Hari ini aku mengetuk satu pintu, tapi yang terbuka justru hatiku sendiri. Mungkin, beginilah cara dakwah menyapa: tidak datang dari atas, tapi duduk bersama di bawah, menatap mata, dan berbagi cahaya.
BERSAMBUNG...
Posting Komentar