Bangku sekolah adalah tempat pertama anak berjumpa secara intens dengan perbedaan. Di kelas yang sama, duduk anak-anak dari latar belakang yang beragam: suku, budaya, bahkan agama. Pertemuan itu bisa menjadi peluang emas untuk belajar menghargai, atau justru menjadi awal lahirnya prasangka jika tidak diarahkan dengan benar. Maka dari itu, mengajarkan moderasi beragama di sekolah bukan pilihan, melainkan keharusan.
Pluralitas adalah realitas bangsa ini. Tetapi sayangnya, sebagian siswa masih dibesarkan dalam lingkungan sosial yang cenderung homogen. Ketika masuk sekolah, mereka membawa cara pandang yang sempit: melihat kebenaran hanya dari kacamatanya sendiri. Ketika berhadapan dengan teman yang berbeda ibadah, berbeda pakaian, atau berbeda keyakinan, tidak sedikit yang merasa canggung, bahkan curiga. Inilah titik krusialnya.
Moderasi beragama adalah pendidikan untuk melihat perbedaan sebagai hal yang lumrah. Ia tidak mengajarkan relativisme bahwa semua agama sama, tetapi mengajarkan bahwa semua manusia punya hak untuk dihormati, apapun keyakinannya. Dalam konteks sekolah, siswa harus dilatih untuk berdialog, bukan mendebat; untuk mendengar, bukan menghakimi.
Ada fakta yang cukup mencemaskan: sebagian siswa merasa tidak nyaman jika bergaul dengan temannya yang beda agama. Ini menunjukkan bahwa sekolah belum sepenuhnya sukses menjadi ruang pembelajaran nilai. Bahkan beberapa kegiatan agama kadang dilakukan dengan narasi yang mengandung dikotomi "kita vs mereka." Ini sangat berbahaya.
Untuk itu, pendekatan pendidikan agama di sekolah harus diperbarui. Kurikulum tidak boleh hanya fokus pada dalil, tapi juga pada etika pergaulan sosial. Guru harus lebih dari sekadar pengajar; ia harus menjadi penuntun moral. Diskusi lintas iman, proyek kolaboratif antarkelas, bahkan kunjungan ke rumah ibadah berbeda, bisa menjadi cara efektif menyemai empati dan penghargaan terhadap keberagaman.
Namun, membangun moderasi beragama tidak hanya tanggung jawab guru agama. Semua pihak harus terlibat: wali kelas, pembina OSIS, hingga penjaga sekolah. Moderasi harus menjadi roh sekolah, bukan hanya program tahunan.
Kita harus jujur mengakui bahwa intoleransi kerap tumbuh diam-diam di sekolah, lewat candaan yang merendahkan, lewat pemilahan teman main, hingga lewat narasi-narasi agama yang eksklusif. Jika sekolah tidak sigap membangun nilai moderasi, maka ia sedang memelihara bom waktu.
Oleh karena itu, mari mulai dari hal kecil. Ajarkan siswa untuk menyapa semua teman tanpa melihat agamanya. Dorong mereka untuk bertanya dengan rasa ingin tahu, bukan mencurigai. Ciptakan ruang diskusi yang aman, tempat semua suara dihargai. Di situlah moderasi lahir.
Bangku sekolah adalah titik awal. Jika kita bisa menanamkan nilai toleransi di sana, maka kita sedang menyiapkan bangsa yang tangguh dalam keragaman.
Posting Komentar