Abdurrahman Murad
Abdurrahman Murad

Jejak Rindu di Sajadah

Di tikungan malam yang sepi,
aku mencium sunyi,
bukan dari langit,
tapi dari dalam diri.

Aku mendengar namaku
dipanggil oleh sepi yang tak berbunyi,
seperti Allah mengetuk pintu,
tapi aku pura-pura tak mengerti.

Rindu ini tak tumbuh dari cinta biasa—
bukan pada peluk, bukan pada suara,
melainkan pada sajadah yang sunyi,
yang dulu basah oleh air mata pagi.

Di atas sajadah yang kini diam,
aku pernah menumpahkan beban,
menyulam harap dalam sujud,
mengadu dalam bahasa langit.

Kini aku jauh,
hatiku lapar tapi bukan karena nasi,
tubuhku haus, tapi bukan karena air,
jiwaku kering—karena lupa dzikir.

Rasul yang kusebut dalam lisan,
jarang kuteladani dalam tindakan.
Allah yang kusebut dalam doa,
terlupa dalam langkah dan rencana.

Aku rindu...
pada gelap yang kutemani dengan tahajud,
pada peluk sunyi di sepertiga malam,
pada doa yang keluar lirih dari dada
bukan sekadar hafalan bibir semata.

Kawan,
bukan dunia yang membuat kita sesak,
tapi jarak dengan Tuhan yang terlalu renggang.
Bukan karena hidup terlalu berat,
tapi karena kita terlalu ringan mengingat-Nya.

Sujud itu bukan hanya ritual,
ia rumah bagi hati yang lelah.
Shalawat bukan sekadar bacaan,
ia jembatan bagi cinta yang tak pernah padam.

Rindu ini...
tak lagi ingin berjumpa,
tapi ingin kembali:
menjadi hamba.

 

Posting Komentar