Abdurrahman Murad
Abdurrahman Murad

Jombang Bagian 2 ( santri tahfidz di pagi buta, mahasiswa di siang hari )

jombang Bagian 2 ( santri tahfidz di pagi buta, mahasiswa di siang hari )

 

Pagi itu aku berangkat kuliah naik sepeda ontel. Tas gendongku berisi buku filsafat Islam, catatan tafsir, dan air minum dalam botol bekas. Baju masih beraroma sabun cuci semalam. Rambut belum kering betul. Subuh tadi, aku baru saja selesai setor hafalan di Pesantren Tahfidzul Qur’an Tebuireng, tempatku mondok sejak beberapa bulan terakhir.

Begitulah ritmeku: santri tahfidz di pagi buta, mahasiswa di siang hari.

Aku kuliah di Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY). Letaknya masih di kompleks Tebuireng, tapi rasanya seperti dua dunia yang berbeda. Di pesantren, aku bergelut dengan hafalan, murojaah hafala Alqur'an. Tapi di kampus, aku harus membaca jurnal, menulis makalah, dan berdiskusi dengan berbagai sudut pandang.

Di pesantren, guruku bilang: “Al-Qur’an bukan hanya untuk dihafal, tapi harus jadi cahaya hidup.”
Di kampus, dosenku bilang: “Kritik dan logika itu penting.”
Kadang aku bingung sendiri. Tapi aku percaya, dua dunia ini sedang membentukku—pelan-pelan, dalam diam.

Pernah suatu malam, aku hampir tumbang. Tugas kuliah menumpuk. Hafalan tersendat. Jadwal setor bentrok dengan jadwal kuliah. Di pojok aula pondok, aku duduk sendirian. Gelap, sunyi. Hanya satu kalimat yang keluar:

“Ya Allah, jangan biarkan aku kalah.”

Malam itu aku menulis. Bukan makalah, bukan hafalan. Tapi isi hati. Tentang lelah yang kupendam. Tentang rindu rumah, ridu masakan ibu. Tentang keyakinan kecil yang masih kupeluk erat: bahwa aku sedang menempuh jalan panjang. Dan menulis... membuatku tetap sadar arah.

Hidup sebagai santri tahfidz dan mahasiswa bukan soal hebat. Tapi soal menjaga semangat tetap hidup. Ilmu bukan hanya tentang banyaknya buku, tapi tentang bagaimana hati tetap hidup di tengah bacaan itu.

 

Posting Komentar