Abdurrahman Murad
Abdurrahman Murad

Jombang Bagian 10( Ketika Hafalan Qur’an, Tapi Semangat Harus Tetap )

Ketika Hafalan Qur’an Tak Lancar, Tapi Semangat Harus Tetap

 

Hari-hari setelah liburan berlalu seperti biasa: ngaji pagi, kuliah siang, hafalan sore, murojaah malam. Tapi ada yang berubah. Atau lebih tepatnya—ada yang menurun.

Hafalanku mulai kacau. Ayat-ayat yang dulu lancar meluncur dari mulut kini tersendat. Kadang satu baris tertukar, kadang satu halaman terasa asing. Murojaah yang biasanya jadi tempat menenangkan diri, kini malah jadi beban yang menekan. Aku mulai takut setiap kali jadwal setor hafalan tiba. Keringat dingin muncul, padahal belum mulai membaca.

Satu malam, aku menunduk lemas di pojok masjid pondok. Mushaf Qur’an terbuka di hadapanku, tapi tak satu pun ayat mampu kusambung sempurna. Aku tutup mushaf itu pelan. Kusandarkan punggung ke dinding, lalu kutarik napas dalam-dalam. Tak sadar, air mata turun satu-satu.

“Ya Allah… kenapa hafalanku mulai hilang?”

Pikiran buruk mulai berdatangan. Mungkin karena hatiku sedang kotor. Mungkin karena terlalu banyak mikirin kuliah. Mungkin karena aku kurang ikhlas. Entahlah. Yang jelas, semangatku mulai pudar.

Sore itu, jadwal halaqah bareng Kiai Ahmad Munawwar Hidayat, sosok yang biasa kami panggil “Bapak” di pondok. Beliau datang seperti biasa: tenang, berwibawa, tapi wajahnya selalu teduh. Kami duduk melingkar, membuka mushaf, dan beliau mulai menyimak satu per satu.

Ketika giliranku datang, aku membaca seadanya. Gemetar. Terpotong-potong. Beberapa teman melirik, mungkin prihatin. Tapi Kiai Munawwar tetap tenang. Setelah aku selesai—dengan wajah penuh kekecewaan pada diri sendiri—beliau menatapku sambil tersenyum lembut.

“Abdul,” katanya pelan, “Qur’an itu bukan seperti hafalan pelajaran biasa. Dia bukan hanya butuh otak, tapi juga butuh hati.”

Aku menunduk makin dalam.

“Kadang, ketika hidup kita sedang kacau, hafalan kita juga ikut kacau. Tapi jangan berhenti. Hafalan boleh goyah, tapi semangatmu jangan ikut jatuh. Hafalan Qur’an itu bukan untuk dilombakan, tapi untuk dijaga. Dan menjaga itu butuh waktu… dan sabar.”

Aku tidak langsung menjawab. Tapi kata-kata itu masuk pelan-pelan ke hati. Seperti air hangat yang mengalir ke celah-celah luka yang tak terlihat.

Setelah halaqah selesai, aku duduk lebih lama di masjid. Kusentuh mushaf yang tadi sempat kututup karena kecewa. Kubuka pelan halaman terakhir yang berhasil aku hafal. Aku baca lagi… perlahan. Tanpa tekanan. Tanpa buru-buru.

“Dan sesungguhnya Kami telah mudahkan Al-Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?”

Ayat ke 32 dalam surah Alqamar itu seperti tamparan lembut dari langit.

Aku sadar… mungkin aku terlalu sibuk dengan hasil. Terlalu ingin cepat. Terlalu ingin sempurna. Padahal, yang Allah minta mungkin hanya kesungguhan dan ketulusan.

Malam itu aku kembali menulis.

“Bapak bilang, hafalan itu bisa hilang,
tapi semangat harus tetap dinyalakan.
Qur’an bukan untuk dikejar cepat,
tapi untuk dirawat,
seperti bunga yang mekar perlahan tapi harumnya bertahan lama.”

Sejak malam itu, aku tidak lagi terlalu keras pada diri sendiri. Aku tetap murojaah, tetap setor, tapi hatiku lebih tenang. Karena aku tahu, Allah tidak melihat hafalanku yang sempurna, tapi perjuangan yang jujur.

Dan Bapak, dengan caranya yang tenang, telah menyalakan kembali api yang sempat padam dalam diriku.

Jika suatu hari hafalan Qur’anmu mulai hilang, jangan langsung menyalahkan dirimu.
Duduklah, tarik napas. Mungkin Allah sedang mengajarimu untuk lebih sabar. Mungkin Dia sedang menguji apakah kau mencintai Qur’an hanya karena hafalannya, atau karena cahaya-Nya di dalam hatimu.

Posting Komentar