Malam itu, seperti malam Jumat lainnya, kami para santri berkumpul di aula pondok.
tidak ada panggung, tidak ada kursi yang disusun rapi, pengeras suara agak sember, dan deretan santri sudah duduk bersila dengan buku catatan di tangan.
Malam itu jadwalnya muhadharah—latihan berpidato.
Aku kebagian jadidewan hakim.
Satu demi satu santri tampil. Ada yang tegang, ada yang lucu, ada juga yang tiba-tiba lupa teks dan berdiri bengong di depan. Semua ditertawakan—tapi bukan untuk mengejek. Itu tawa saling mendukung, tawa khas anak pondok.
Setelah kegiatan selesai dan semua dibubarkan dengan salam, aku beres-beres alat. Saat itu, salah satu pengurus datang pelan dan berkata:
“Abdul, Bapak manggil ke rumah.”
Aku sontak berhenti. Deg-degan. Tidak tahu apa urusannya.
Di kepala, muncul banyak kemungkinan:
Apa aku ada salah? Atau mungkin ada tugas yang belum aku selesaikan?
Dengan langkah pelan dan hati deg-degan, aku menuju rumah Bapak.
Suasana pondok mulai sepi, hanya terdengar suara serangga malam dan langkah sendal yang beradu dengan lantai.
“Masuk saja cak, Bapak nunggu di ruang tengah.”
Aku duduk dengan sopan. Tak lama, Bapak keluar dari dalam, mengenakan sarung dan baju koko putih. Wajahnya teduh seperti biasanya, tapi malam itu sorot matanya agak lebih dalam.
Tanpa basa-basi, beliau duduk dan berkata dengan suara pelan:
“Cak, pondok ini perlu disiapkan pemimpin baru. Bapak ingin kamu jadi calon ketua.”
Rasanya seperti petir di malam tenang.
Aku menunduk. Tak bisa langsung menjawab. Di dalam hati, muncul suara kecil:
"Saya? Yang masih sering telat ke aula? Yang kadang ngantuk saat ngaji malam? Yang hafalannya saja kadang ulang-ulang terus?"
Tapi Bapak tidak menatapku seperti seorang yang menunggu jawaban. Beliau menatapku seperti seorang ayah yang sedang meletakkan tanggung jawab di pundak anaknya, dengan harapan, bukan tekanan.
“Ini bukan tentang kamu paling pintar atau paling rajin. Tapi karena kamu sudah belajar diam, belajar mendengar, dan itu bekal penting untuk memimpin,” lanjut beliau.
Aku mengangguk pelan. Masih belum bicara banyak. Tapi ada yang bergerak di dadaku. Bukan semangat—tapi rasa dikejutkan oleh kepercayaan.
Malam itu, setelah pamit dan kembali ke kamar, aku duduk di atas kasur tanpa berkata apa-apa.
Semua teman sudah tidur. Lampu kamar redup.
Aku menulis di buku kecil:
Malam ini aku tidak jadi penceramah. Tapi Bapak memberiku tugas yang jauh lebih berat:
menjadi orang yang tidak hanya bisa bicara, tapi juga harus mendengarkan banyak suara.Menjadi santri saja sudah sulit.
Menjadi ketua santri?
Aku tidak yakin aku bisa. Tapi kalau Bapak percaya… aku akan belajar.
Aku tahu, jalan ke depan akan lebih berat. Tapi juga lebih bermakna.
Dan semuanya dimulai dari satu malam, satu panggilan setelah muhadharah,
dan satu kalimat lembut dari sosok yang kami panggil Bapak.
Posting Komentar