Abdurrahman Murad
Abdurrahman Murad

Serambi Mushola dan Segelas Air Hangat


“Kadang, cahaya datang bukan dari lampu terang, tapi dari mushola reot yang dihidupkan oleh anak-anak kecil yang masih percaya pada suara iqamah.”

Matahari sore menyelinap dari balik pohon jengkol di sisi timur desa. Aku duduk di serambi mushola yang lantainya dingin dan sedikit miring. Karpetnya tipis dan sudah mulai sobek di sudut-sudutnya. Tapi hari itu, mushola itu terasa hidup.

Tiga anak laki-laki datang sambil berlari, membawa peci dan sandal jepit. Menyusul dua anak perempuan yang masih malu-malu, lalu satu bocah kecil—usianya belum genap lima tahun—yang ikut-ikutan duduk dan menatapku dengan mata polos.

Namaku Ilham. Dan hari ini aku bukan penyuluh agama, bukan penceramah, bukan pula ustaz. Aku hanya kakak yang datang membawa cerita, dan sedikit pengetahuan yang ingin kubagi dengan hangat.

“Kita mulai ya, dek. Tapi sebelum itu, siapa yang pernah merasa malas salat?”

Semua terdiam. Saling menatap. Lalu si kecil itu angkat tangan sambil tersenyum malu. Semua tertawa.

Aku tak marah, justru bahagia. Karena dari pengakuan jujur, kita bisa mulai berdiskusi dengan hati. Tidak ada dalil panjang. Aku hanya bercerita—tentang Allah yang Maha Sayang, tentang Rasul yang mencintai anak-anak, dan tentang salat yang bisa jadi pelukan saat kita merasa sendiri.

Satu per satu mereka mulai terbuka. Mereka bercerita tentang bapaknya yang sering marah, ibunya yang sakit-sakitan, dan tentang guru sekolah yang kadang membuat mereka merasa tak dianggap. Aku hanya diam dan mendengarkan. Kadang menatap, kadang mengangguk, dan sesekali tersenyum agar mereka tahu bahwa semua yang mereka rasakan itu penting.

Setelah belajar, Arif—pemuda yang adzan kemarin—datang membawa teko air hangat dan beberapa gelas plastik.

“Biar anak-anak ngerasa ini rumah, Kang,” katanya sambil menuangkan air ke gelas-gelas kecil.

Aku menatapnya. Anak muda ini mungkin pernah salah arah, tapi sekarang hatinya sedang dibimbing oleh cahaya yang ia sendiri belum sadar sedang menyala.

Salah satu anak bertanya, “Kak, kenapa mushola ini sepi?”

Aku terdiam. Pertanyaan polos itu seperti tamparan. Tapi aku jawab sejujur mungkin.

“Karena mungkin belum ada yang cukup sabar untuk tetap datang walau hanya ada satu jamaah. Tapi mulai hari ini, kita ada di sini. Kalian ada di sini. Itu artinya, mushola ini tidak sepi lagi.”

Mereka tersenyum. Dan di saat itulah aku percaya, bahwa dakwah tidak selalu butuh pengeras suara. Kadang hanya butuh tikar kecil, cerita sederhana, dan segelas air hangat.

Malamnya aku menulis di buku catatan:

    “Serambi ini mungkin tak berpendingin ruangan, tapi cukup untuk menyejukkan jiwa. Dan anak-anak itu—dengan segala kejujuran dan tanya-tanya kecilnya—adalah guru-guru pertamaku di medan dakwah.”

Aku tahu, masih banyak tantangan di depan. Tapi aku juga tahu, cahaya sudah mulai menyala.

Posting Komentar