Hijrah tak selalu indah. Ia tak selamanya disambut hamparan permadani dan pelukan hangat. Kadang, hijrah itu luka. Luka karena ditinggalkan, luka karena diremehkan, luka karena kehilangan.
Banyak yang membayangkan hijrah seperti dongeng pembuka lembaran baru—dari gelap menuju terang, dari maksiat ke taat, dari kekacauan menuju kedamaian. Tapi kenyataannya, hijrah justru mengajarkan bahwa jalan menuju kebaikan tak selalu mulus. Kadang, hijrah membuatmu harus kehilangan orang-orang yang kau sayangi. Kadang, hijrah membuatmu terasa asing di tengah mereka yang dulu menyebutmu sahabat.
Hijrah seringkali memisahkan. Bukan karena kau ingin menjauh, tapi karena nilai-nilai yang kau peluk kini tak lagi sama. Kau berhenti tertawa pada lelucon yang dulu kau anggap lucu. Kau mulai gelisah jika waktu shalat disia-siakan. Kau tak lagi betah di keramaian yang hampa, dan pelan-pelan, orang-orang itu merasa kau telah berubah. Mereka benar—kau memang berubah.
Perubahan itulah yang kadang menyakitkan. Bukan karena kau menyesal, tapi karena mereka yang tak memahamimu. Kau hanya ingin lebih dekat pada Tuhanmu. Tapi niatmu disalahpahami, seolah hijrahmu adalah bentuk penghukuman terhadap mereka. Kau dianggap sok suci, padahal kau justru sedang belajar merendah, membenahi, memperbaiki diri yang rusak.
Hijrah adalah revolusi batin. Ia bukan sekadar ganti pakaian atau jargon religi. Ia perjuangan senyap melawan diri sendiri. Ia tentang menundukkan nafsu saat semua ingin membangkitkannya. Ia tentang menahan kata-kata kasar saat emosi menggelegak. Ia tentang memilih diam saat dunia menyuruhmu membalas.
Bukankah Rasulullah ï·º pun, saat berhijrah dari Mekkah ke Madinah, tak membawa kenyamanan? Beliau tinggalkan tanah kelahiran, keluarga, dan kenangan, karena ada misi yang lebih besar: menyelamatkan iman. Di gua Tsur, beliau bersembunyi bersama Abu Bakar, dikejar-kejar kafir Quraisy. Tapi dari hijrah itulah cahaya Islam menyinari dunia.
Hijrah adalah luka yang menyembuhkan. Luka karena ditertawakan ketika belajar mengaji. Luka karena dianggap fanatik saat memilih jujur dalam pekerjaan. Luka karena menolak ajakan maksiat dan justru dianggap pengkhianat. Tapi semua luka itu tak sia-sia. Allah melihat air matamu, perjuanganmu, bahkan kesepian yang kau sembunyikan.
Kadang kita ingin kembali seperti dulu—bebas tanpa beban, ramai tanpa sunyi. Tapi jangan salah. Ramai yang dulu sering kali hampa. Dan sunyi yang sekarang, justru membuatmu lebih jujur pada dirimu sendiri. Dalam sunyi itu, ada munajat. Dalam sunyi itu, ada pertobatan. Dalam sunyi itu, kau tak lagi pura-pura bahagia.
Ada saatnya kau ingin menyerah. Ingin berhenti saja. Ingin kembali seperti semula. Tapi di titik itu, Allah meneguhkanmu kembali. Kadang lewat ayat yang kau dengar tanpa sengaja, kadang lewat nasihat dari orang yang tak kau sangka, atau bahkan lewat tangisanmu sendiri saat bersujud.
Hijrah tak butuh tepuk tangan manusia. Hijrah butuh ridha Allah. Dan itu lebih dari cukup.
Jika saat ini engkau masih jatuh bangun dalam hijrahmu, tak apa. Jika luka masih menetes perlahan, itu wajar. Jika langkahmu lambat, tak jadi soal. Yang penting, kau masih melangkah.
Hijrah bukan perlombaan. Ia adalah perjalanan. Sebagian sampai cepat, sebagian harus jatuh dulu, tersesat dulu, lalu bangkit. Yang penting bukan siapa yang duluan, tapi siapa yang bertahan sampai akhir. Sebab istiqamah itu lebih berat dari awal hijrah.
Sebagian orang memang tak akan paham mengapa engkau berubah. Mereka hanya melihat luarnya. Tapi Allah melihat batinmu. Ia tahu niat yang kau rawat dalam diam. Ia tahu betapa kau menahan tangis di malam hari karena ingin menjadi lebih baik.
Sabar, saudaraku. Luka hijrah itu bagian dari ujian cinta. Dan cinta sejati pada Allah memang butuh pembuktian. Bukan dengan kata, tapi dengan tahanan—menahan diri, menahan amarah, menahan nafsu, menahan ego. Dan jika kau mampu melewati semua itu, kau akan temukan kedamaian yang selama ini tak pernah kau rasa sebelumnya.
Ketahuilah, engkau tak sendiri. Banyak di luar sana yang juga sedang terluka dalam proses hijrah. Mereka juga menangis. Mereka juga ditinggalkan. Tapi mereka bertahan, seperti engkau.
Dan pada akhirnya, luka-luka itu akan menjadi bukti bahwa engkau pernah memperjuangkan jalan menuju cahaya.
Allah berfirman:
"Dan barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Dan barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tujuan), maka sungguh pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah...”
(QS. An-Nisa: 100)
Hijrah memang melukai, tapi hanya untuk menguatkanmu. Sebab di balik luka itu, ada surga yang menanti.
Posting Komentar