Abdurrahman Murad
Abdurrahman Murad

Ketika Doa Tidak Langsung Dikabulkan

Ketika Doa Tidak Langsung Dikabulkan

Renungan tentang keikhlasan dalam menunggu jawaban dari langit

Ada saat-saat dalam hidup ketika kita duduk lama dalam sujud, berbisik lirih kepada langit, memohon dengan sungguh-sungguh. Kita berharap, setelah “aamiin” terakhir, keajaiban akan datang dengan segera. Tapi hari demi hari berlalu—tak ada perubahan. Jawaban belum tiba. Keajaiban belum turun.

Lalu kita mulai bertanya dalam hati, “Apakah Allah mendengarku?”
“Apakah doaku terlalu kecil untuk diperhatikan?”
“Apakah aku tidak cukup baik untuk diberi?”

**

Allah Maha Mendengar. Bahkan sebelum lidah kita mengucap, Dia sudah tahu isi hati kita. Tak ada doa yang luput dari perhatian-Nya. Tapi Allah juga Maha Bijaksana. Ia tidak menjawab semua permintaan seperti mesin otomatis. Karena Dia bukan pelayan yang melayani keinginan, tapi Tuhan yang mendidik hamba-Nya dengan cinta.

Maka ketika doa tidak langsung dikabulkan, itu bukan karena Allah tidak peduli.
Itu justru tanda bahwa Allah sedang memproses kita.

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 216)

**

Ada tiga cara Allah menjawab doa:

  1. Segera dikabulkan.
    Ini adalah bentuk kasih sayang-Nya yang langsung.

  2. Ditunda.
    Karena Allah tahu, waktunya belum tepat. Jika diberikan sekarang, justru bisa merusak. Ini bukan penolakan, tapi penundaan yang menyelamatkan.

  3. Diganti dengan sesuatu yang lebih baik, bahkan mungkin di akhirat. Karena bisa jadi permintaan kita adalah racun yang kita sangka madu. Dan Allah menggantinya dengan sesuatu yang jauh lebih indah—meski tak terlihat hari ini.

**

Bayangkan seorang anak kecil menangis minta pisau karena penasaran ingin memegangnya. Sang ibu tidak langsung memberi, bukan karena tidak sayang, tapi karena tahu: itu akan menyakitinya. Begitulah cara Allah menjaga kita. Ia menolak, menunda, atau mengganti doa kita—bukan karena benci, tapi justru karena cinta.

Dan bukankah begitu banyak doa yang tidak dikabulkan dulu, tapi kini kita bersyukur karenanya?

Pernahkah engkau mencintai seseorang begitu dalam, lalu berdoa agar Allah menjadikannya jodohmu? Tapi waktu berlalu, ia pergi. Lalu bertahun kemudian kau bertemu orang yang jauh lebih baik, yang mencintaimu dalam iman. Saat itulah kau sadar: Allah tidak pernah salah.

**

Doa yang belum dikabulkan bukan pertanda kegagalan, tapi justru ujian keimanan. Di situlah Allah melihat: apakah kita mencintai-Nya karena pemberian-Nya, atau karena diri-Nya sendiri?

Rasa kecewa muncul ketika kita mengira bahwa doa adalah alat tukar.
Padahal doa adalah bukti ketundukan.
Ia bukan transaksi. Ia adalah bentuk keintiman dengan Tuhan.

**

Bersabarlah. Dalam sunyi, Allah sedang bekerja.

Kadang Dia menunda, karena ada pelajaran di balik penantian. Penundaan itulah yang mengasah iman kita, mendewasakan sabar kita, menumbuhkan kerendahan hati. Karena jika semua doa langsung terkabul, kita akan lupa bahwa hidup ini bukan tentang keinginan kita—tapi tentang rencana-Nya.

Dan sungguh, setiap doa adalah investasi jiwa. Tidak ada yang sia-sia. Bahkan jika tidak terkabul di dunia, ia akan datang sebagai hadiah yang lebih besar di akhirat.

“Tidaklah seorang muslim memanjatkan doa kepada Allah, selama tidak mengandung dosa atau memutuskan silaturahmi, melainkan Allah akan memberikan baginya salah satu dari tiga hal: (1) doanya dikabulkan, (2) disimpan untuknya di akhirat, atau (3) dihindarkan dari keburukan setimpal.”
(HR. Ahmad)

**

Maka jangan berhenti berdoa. Karena berdoa bukan hanya soal hasil, tapi tentang hubungan.
Hubungan antara hamba yang lemah dan Tuhan yang Maha Segalanya.
Doa adalah pelukan jiwa yang percaya, bahwa sekalipun dunia membisu, langit selalu mendengar.

Jangan takut merasa hancur di hadapan Allah. Kadang, justru di titik paling remuk, Allah sedang paling dekat.

Dan jika satu hari nanti, doamu dikabulkan, sujudlah lebih dalam. Bukan karena engkau akhirnya dapat, tapi karena engkau akhirnya mengerti:

Bahwa menunggu dalam iman bukan sia-sia.
Bahwa tak satu pun linangan air mata itu sia-sia.
Bahwa Allah… tak pernah ingkar janji.

“Sesungguhnya aku tahu Engkau tak pernah menolakku. Hanya aku yang belum benar-benar belajar percaya.”

 

Posting Komentar