Abdurrahman Murad
Abdurrahman Murad

Moderasi Beragama Pilar Penting Menciptakan Sekolah yang Aman dan Inklusif

Moderasi Beragama: Pilar Penting Menciptakan Sekolah yang Aman dan Inklusif

Di tengah derasnya arus intoleransi dan konflik sosial berbasis agama, sekolah harus tampil sebagai ruang aman dan inklusif bagi setiap siswa. Moderasi beragama bukan hanya jargon, melainkan kebutuhan mendesak untuk mencegah perpecahan yang bisa muncul sejak usia dini. Jika tidak ditanamkan dari sekarang, generasi mendatang akan terbiasa melihat perbedaan sebagai ancaman, bukan kekayaan.

Sekolah pada dasarnya bukan hanya tempat mengejar nilai rapor. Ia adalah laboratorium sosial tempat anak belajar hidup berdampingan. Di sana mereka tidak hanya belajar matematika atau IPA, tetapi juga bagaimana menghormati teman yang berbeda keyakinan, bagaimana menyapa dengan ramah walau beda tradisi ibadah, dan bagaimana tidak merasa benar sendiri. Di sinilah pentingnya moderasi beragama: mengajarkan keseimbangan dalam beragama tanpa harus kehilangan identitas.

Sayangnya, masih banyak sekolah yang menganggap pendidikan agama hanya sebatas hafalan dan ritual. Nilai-nilai luhur seperti toleransi, keterbukaan, dan penghormatan terhadap perbedaan nyaris tak tersentuh dalam proses belajar-mengajar. Akibatnya, tidak sedikit siswa yang membawa sikap eksklusif bahkan sejak SD, merasa kelompoknya paling benar dan menganggap yang lain salah atau bahkan sesat. Ini bukan kesalahan mereka sepenuhnya. Ini buah dari sistem pendidikan agama yang kering dari esensi.

Moderasi beragama menawarkan cara pandang yang adil. Ia tidak meminta siswa melunturkan kepercayaannya, tetapi mengajarkan mereka untuk menghargai orang lain yang berbeda. Dalam konteks sekolah, hal ini bisa diterjemahkan dalam bentuk konkret: mengadakan dialog lintas agama di kelas, membuat mading khusus yang menampilkan hari besar semua agama, atau sekadar memastikan tidak ada candaan-candaan yang menghina keyakinan lain.

Beberapa orang mungkin bertanya, “Kenapa harus diajarkan di sekolah? Bukankah itu urusan rumah dan keluarga?” Jawabannya sederhana: karena sekolah adalah tempat interaksi paling intens antarsiswa dari latar belakang berbeda. Anak-anak tidak hidup dalam ruang vakum. Mereka bertemu, bergaul, dan bisa saling melukai jika tidak dibekali sikap yang tepat. Di sinilah guru berperan besar sebagai role model dan fasilitator nilai-nilai moderasi.

Lebih dari itu, moderasi beragama juga akan menyelamatkan siswa dari jeratan ekstremisme digital. Saat ini banyak konten media sosial yang membungkus kebencian dengan label agama. Siswa yang tidak dibekali cara berpikir kritis dan nilai keseimbangan sangat mudah terpengaruh. Mereka bisa percaya bahwa membenci orang beda agama adalah bentuk keimanan, atau merasa berdosa karena berteman dengan nonmuslim. Pendidikan moderasi menjadi tameng untuk menangkal hal itu sejak dini.

Membangun sekolah yang moderat bukan soal program sesaat, tetapi soal kultur. Dibutuhkan konsistensi: guru yang mau belajar, kepala sekolah yang berpandangan terbuka, dan kurikulum yang memberi ruang refleksi atas keberagaman. Sekolah yang ramah bagi semua agama bukan berarti sekolah yang netral tanpa identitas, tetapi sekolah yang menyambut semua anak dengan rasa hormat dan kasih.

Jika kita ingin Indonesia di masa depan menjadi bangsa yang damai dan bersatu, maka benihnya harus ditanam di sekolah. Dan benih itu bernama: moderasi beragama

#PenyuluhAgamaBergerak

#SapaSekolahSapaBangsa

#PenyuluhUntukNegeri

#SuluhDamaiIndonesia

#LangkahPenyuluh

#PenyuluhHarmoni

#PenyuluhGardaModerasi

#ModerasiBeragama

#PelajarModerasi

#SekolahRamahPerbedaan

#GenZModerate

#ToleransiItuKeren

#PeaceOutHateOff

#RukunItuKuat

#ModerasiItuIndonesia

#KitaBedaKitaBersaudara

#ReligiusToleran

 

Posting Komentar