Ketika Lelah Datang, Tapi Ada yang Menopang
Menjadi ketua pondok bukan hanya soal mengatur dan membuat jadwal.
Tapi soal siap tidak tidur ketika teman-teman sudah lelap.
Soal mendengarkan keluhan yang sama, berkali-kali, dengan kesabaran yang tidak boleh berkurang.
Dan soal tetap tersenyum, meski kadang hati sendiri sedang keruh.
Aku tidak selalu kuat. Bahkan seringkali nyaris menyerah.
Tapi ada satu hal yang membuatku bertahan: aku tidak sendiri.
Di sampingku, ada Cak Midin.
Wakil ketua, sahabat, saudara seperjalanan—yang entah bagaimana, selalu tahu kapan aku sedang lelah.
Dia tidak pernah bertanya “kenapa kamu murung?”
Tapi dia bisa datang membawa dua gelas teh panas, lalu duduk diam di sebelahku.
Dan tanpa banyak kata, aku tahu: aku sedang dipahami.
Hari itu berat. Ada santri junior yang kabur ke warung. Ada yang bertengkar karena giliran jaga kamar mandi. Dan aku baru saja ditegur Bapak karena salah menyampaikan informasi ke ustaz pengajar.
Aku duduk lemas. Menunduk lama.
Lalu terdengar langkah pelan di belakangku. Cak Midin duduk tanpa bicara.
Lama kami diam.
Lalu dia berkata pelan:
“Kadang, amanah itu bukan untuk ditanya sanggup atau tidak. Tapi untuk dijalani, meski pelan-pelan.”
Aku menoleh, dan tanpa sadar, air mata menetes.
Bukan karena sedih semata, tapi karena lega.
Ada seseorang yang tetap duduk di sampingku, bahkan saat aku sedang tidak bisa menyemangati diriku sendiri.
Aku bukan orang yang pandai bicara panjang. Kadang aku hanya membuka rapat dengan kalimat pendek:
“Hari ini... yuk kita jaga pondok ini dengan hati.”
Sisanya?
Cak Midin yang banyak menjelaskan. Dia tahu bagaimana menyambung kalimatku yang terpotong.
Dia bisa mengatur pembagian tugas dengan bahasa santai tapi tegas.
Dan aku?
Aku belajar dari caranya merangkul teman, tanpa merasa paling tinggi.
Seorang ketua tidak selalu hebat. Tapi kalau dia punya sahabat yang setia di sampingnya, maka langkahnya akan tetap tegak, meski jalannya menanjak.
Posting Komentar