Abdurrahman Murad
Abdurrahman Murad

Langkah yang Tak Boleh Pulang

 

Istiqomah bukan hanya tentang memulai sesuatu yang baik, tapi tentang bertahan dalam kebaikan itu. Di saat gairah telah reda, tepuk tangan telah hilang, dan tak ada yang lagi melihat.

Istiqomah itu sunyi. Ia bukan kembang api yang meledak di awal dan redup tak bersisa. Ia seperti pelita kecil di sudut gelap, tetap menyala meski tak ada yang memujinya. Ia tentang langkah-langkah kecil yang tak pernah berhenti. Bahkan ketika letih menyerang, bahkan ketika dunia mulai mencibir, bahkan ketika hati mulai bertanya: “Masihkah Allah melihatku?”

Setiap orang bisa berubah. Tapi tak semua orang bisa bertahan dalam perubahan itu. Banyak yang semangatnya meletup saat awal hijrah, tapi meredup di tengah jalan. Ada yang menangis di sajadah, tapi lupa saat dunia mulai menawarkan gemerlapnya kembali. Ada yang dulu mengutuk maksiat, tapi kini mulai memaklumi dosa kecil demi eksistensi.

Padahal istiqomah bukan tentang sesekali baik. Ia adalah tentang terus menjadi baik, meskipun sulit.

Rasulullah ï·º bersabda:

“Katakanlah, aku beriman kepada Allah, kemudian istiqomahlah.”
(HR. Muslim)

Istiqomah itu cinta yang diuji. Cinta kepada Allah yang tak menyerah walau tak selalu mudah. Ia ibarat menanam pohon. Di awal kau sirami penuh harap, tapi pohon itu belum tentu berbuah besok. Kadang bertahun-tahun tak tampak hasilnya. Tapi kau tetap menyiram, tetap merawat, tetap menjaga, karena kau percaya suatu hari nanti, ia akan tumbuh menjulang.

Begitu juga istiqomah. Mungkin hari ini shalatmu belum khusyuk. Mungkin bacaan Qur’an-mu masih terbata-bata. Mungkin pakaianmu belum sempurna menutup aurat. Tapi selama kau terus melangkah, terus belajar, terus menjaga niatmu, maka kau sedang istiqomah.

Istiqomah itu perjuangan diam-diam. Tak ada yang tahu betapa beratnya menahan diri dari kembali ke masa lalu. Tak semua orang tahu betapa menggoda ajakan teman lama. Tak semua orang paham betapa hati ingin menyerah saat semua orang meninggalkan. Tapi kau tetap bertahan, karena kau tahu: Allah sedang melihatmu. Dan itu cukup.

Ada kisah yang sering aku kenang: tentang seorang pemuda yang dulu dikenal buruk di kampungnya. Pemabuk, penjudi, keras kepala. Tapi suatu malam, ia mendengar suara azan dan entah mengapa hatinya tergugah. Ia datang ke masjid dengan malu-malu, duduk di saf belakang, dan menangis diam-diam. Sejak malam itu, ia tak pernah absen shalat. Tak ada yang percaya di awal. Orang-orang menertawakan, mencibir, bahkan menghina. Tapi ia tetap datang ke masjid, lima waktu, setiap hari, tanpa peduli cibiran. Bertahun-tahun kemudian, ia wafat dalam sujudnya. Dan semua orang menangis saat jenazahnya dishalatkan. Ia bukan hanya bertaubat. Ia istiqomah dalam taubatnya.

Istiqomah tak selalu indah. Kadang kau harus kehilangan teman. Kadang harus berjalan sendiri. Kadang harus menutup telinga dari cibiran dan menahan hati dari keinginan kembali.

Tapi justru di situlah nilainya.

Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Qayyim:

“Tanda-tanda istiqomah adalah tetapnya hati dalam tauhid, lisan dalam dzikir, dan amal dalam mengikuti sunnah.”

Berat? Tentu. Tapi bukan berarti mustahil.

Allah tidak menuntutmu sempurna. Allah hanya ingin kau tetap melangkah. Karena di setiap langkah itu, ada pahala yang disiapkan. Ada cinta yang ditanam. Dan ada surga yang menanti.

Kalau kau lelah, rehatlah. Tapi jangan berhenti. Istirahat bukanlah kegagalan. Bahkan Rasulullah ï·º pun punya waktu-waktu istirahatnya. Tapi setelahnya, beliau bangkit lagi. Melangkah lagi. Menebar kebaikan lagi.

Dan istiqomah bukan berarti tak pernah jatuh.

Kau bisa saja tergelincir. Bisa saja salah. Tapi selama kau kembali bangkit, kembali bertaubat, dan kembali berjalan ke arah yang benar, kau masih dalam jalur istiqomah.

Istiqomah juga bukan berarti tak pernah menangis. Justru kadang kau akan lebih sering menangis, karena beban terasa lebih berat. Tapi air mata itu bukan kelemahan. Ia adalah bukti bahwa kau serius menjaga langkahmu.

Ada kalanya kita merasa kecil. Merasa kebaikan kita tak berarti. Merasa tak akan mampu bertahan. Tapi ingatlah, bahkan amalan kecil yang dikerjakan terus-menerus, lebih Allah cintai daripada amalan besar yang hanya sekali.

Rasulullah ï·º bersabda:

“Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang paling kontinu, meskipun itu sedikit.”
(HR. Bukhari)

Maka jangan remehkan langkah kecilmu. Jangan anggap enteng zikir pagimu, shalat sunnahmu, sedekah recehmu, atau senyum tulusmu. Jika itu kau jaga terus, setiap hari, maka itu bisa menjadi tangga ke surga.

Dan jika suatu hari kau mulai goyah, ingatlah niat awalmu. Tanyakan pada hatimu: Mengapa aku memulai ini? Untuk siapa aku berhijrah? Untuk siapa aku bertahan?

Jika jawabannya adalah Allah, maka tak peduli seberapa sulit jalanmu, kau akan kuat.

Karena cinta kepada Allah adalah bahan bakar terbaik bagi sebuah istiqomah.

Istiqomah itu bukan perkara satu hari. Ia perkara seumur hidup. Ia bukan tentang berlari kencang, tapi tentang tetap melangkah, walau perlahan, walau tertatih.

Jika engkau sedang dalam proses hijrah, dalam fase belajar, dalam pencarian makna—jangan takut. Bertahanlah. Kau mungkin merasa lelah hari ini, tapi besok kau akan kuat. Hari ini kau menangis, tapi besok kau akan tersenyum. Karena istiqomah itu seperti matahari pagi—meski perlahan, ia selalu menyinari.

Dan bila dunia mulai menggoda untuk kembali, katakan pada hatimu:

“Langkah ini tak boleh pulang. Karena aku sedang menuju Allah.”

Posting Komentar