Abdurrahman Murad
Abdurrahman Murad

Aku Adalah Doa yang Kau Tinggalkan

Aku masih ingat pagi terakhir itu.
Langit belum sepenuhnya terang, dan suara adzan subuh baru saja menggema dari surau kecil di ujung gang. Biasanya, Ayah yang membangunkanku. Tangannya hangat meski kasar, dan suaranya pelan tapi tegas, "Bangun, Nak. Subuh itu cahaya pertama bagi hati."

Namun pagi itu, yang datang bukan Ayah. Ibu berdiri di depan pintu kamarku dengan wajah pucat dan suara gemetar.

"Fathan... Ayahmu... Ayahmu pingsan..."

Aku tak tahu bagaimana harus merespons. Jantungku berdetak liar. Dalam hitungan menit, kami sudah berada di ruang tengah. Ayah tergeletak di atas sajadah. Matanya tertutup, tubuhnya dingin. Ia wafat dalam sujud—sujud terakhirnya. Orang-orang menyebutnya kematian yang indah. Tapi bagiku, itu luka yang tak kunjung sembuh.
---
Waktu tidak pernah benar-benar menyembuhkan. Ia hanya membuat luka terasa biasa.

Ayah meninggalkan kami dua puluh lima tahun lalu, tapi rasanya baru kemarin aku duduk di samping tubuhnya yang terbujur kaku. Kehidupan kami berlanjut, tentu saja. Ibu menjadi tulang punggung. Aku, anak laki-laki sulung, tumbuh cepat karena keadaan memaksa. Tapi di dalam hatiku, ada ruang kosong yang tak pernah bisa kutambal.

Ayah tak banyak bicara semasa hidupnya. Namun tindakannya selalu jadi pelajaran. Cara ia menghormati ibunya, bagaimana ia mengajariku wudhu, dan suaranya saat melafalkan doa sebelum tidur—semuanya menetap dalam ingatan. Kadang, aku merasa ia belum pergi. Bahwa ia hanya sedang diam, mengawasi dari tempat yang tak kasat mata.

Adikku, Hilya, masih kecil waktu itu. Ia pernah bertanya polos, "Kak, Ayah di mana sekarang? Allah ambil Ayah, tapi kita belum siap..."

Aku menunduk, tak tahu bagaimana menjawab. Sebab hingga kini pun, aku masih belum siap.

Setiap malam, Ibu masih menyebut nama Ayah dalam doanya. Aku sering mencuri dengar dari balik pintu kamar. Ada getaran cinta yang tak bisa dijelaskan dalam setiap kata yang ibu panjatkan. Aku pun mulai mengikuti jejak itu. Dalam setiap sujudku, nama Ayah menyelinap lirih.

Aku mulai sering ke masjid, duduk di saf tempat biasa Ayah berdiri. Seorang kakek di sana pernah menyapaku, "Kamu anak Pak Rasyid, ya? Wajahmu mirip benar. Semoga kau mewarisi kebaikannya."

Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum, menahan gelombang air mata. Sebab aku tahu, rindu memang tak mengenal waktu.

Suatu malam, aku duduk di teras dengan secangkir kopi. Langit penuh bintang, angin membawa aroma tanah yang baru disiram hujan.

"Bu," kataku pelan, "kenapa Allah ambil Ayah secepat itu? Aku belum sempat bilang terima kasih..."

Ibu terdiam lama, lalu menjawab, "Mungkin karena Ayahmu sudah selesai menanam benih. Tugasnya selesai. Sekarang giliranmu yang tumbuh, Nak."

Kata-kata itu menancap dalam. Aku sadar, aku tak bisa terus hidup dalam kehilangan. Aku harus hidup dalam warisan kebaikan.

Suatu malam aku bermimpi. Ayah duduk di beranda masjid, tersenyum. Ia menatapku dan berkata, "Fathan, jangan terus menangis. Aku tidak pernah jauh. Jadilah lelaki yang Allah banggakan. Temui aku di akhir nanti, bukan hanya dalam rindu."

Aku terbangun dengan dada sesak tapi hati lapang. Sejak saat itu, aku mulai menulis surat untuk Ayah di buku kecil:

*Ayah, hari ini aku belajar ikhlas.*
*Aku bantu Ibu membersihkan halaman.*
*Aku menahan amarah saat difitnah.*
*Aku mengajar anak-anak mengaji.*

*Semua aku lakukan agar namamu harum di sisi Tuhan.*

Ayah, kini aku bukan lagi anak kecil yang menunggumu di ambang pintu. Aku adalah lelaki yang mencoba menapaki jejakmu. Aku adalah doa yang kau tinggalkan.

Dan selama aku masih bersujud, aku tahu: kau tak pernah benar-benar pergi.

 

Posting Komentar