Di tengah dinamika kehidupan sosial yang semakin beragam, peran penyuluh agama Islam menjadi semakin nyata dan penting. Mereka bukan hanya sekadar penyampai materi dakwah, tetapi juga hadir sebagai sahabat masyarakat yang mendengarkannya, membimbing, dan menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui pendekatan yang penuh keikhlasan, penyuluh agama Islam hadir untuk merawat kebersamaan, menjaga harmoni, serta mampu menanamkan nilai-nilai agama yang moderat dan menyejukkan.

Penyuluh agama Islam adalah garda terdepan Kementerian Agama dalam menyampaikan pesan-pesan keislaman yang ramah, damai, serta penuh kasih sayang. Mereka terjun langsung ke tengah masyarakat—dari desa terpencil hingga perkotaan—menyapa umat tanpa batasan status sosial.
Peran ini sejalan dengan hadist Nabi Muhammad :

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ


“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Ahmad).

Hadis ini menjadi landasan moral bagi para penyuluh untuk selalu menghadirkan manfaat, baik melalui penyuluhan agama, bimbingan keluarga, maupun kegiatan sosial kemasyarakatan.

Indonesia adalah negeri multikultural dengan beragam suku, bahasa, dan keyakinan. Dalam konteks inilah penyuluh agama berperan penting merawat kebersamaan. Dengan pendekatan dakwah yang penuh hikmah, mereka menumbuhkan sikap saling menghargai di tengah perbedaan.

Al-Qur’an mengajarkan:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ


“Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13).

Ayat ini menegaskan bahwa keberagaman adalah sunnatullah yang harus dijaga dengan semangat persaudaraan, bukan dijadikan alasan untuk saling menjauh atau bermusuhan.

Penyuluh agama tidak hanya berdakwah di mimbar atau majelis taklim, tetapi juga hadir saat masyarakat menghadapi masalah sosial: konflik keluarga, pernikahan, perceraian, kenakalan remaja, hingga penyalahgunaan teknologi. Mereka menjadi telinga yang mendengarkan keluh kesah, sekaligus hati yang memberi nasihat penuh kelembutan.

Dengan cara ini, penyuluh agama Islam menjalankan dakwah bil hikmah (dakwah dengan kebijaksanaan), sebagaimana firman Allah:

ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ


“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik...”

(QS. An-Nahl: 125).

Di era digital, penyuluh agama juga dituntut kreatif. Mereka tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga aktif menyebarkan pesan dakwah melalui media sosial, podcast, dan tulisan populer. Kehadiran penyuluh di dunia maya sangat penting untuk menangkal hoaks, ujaran kebencian, dan paham-paham keagamaan yang menyesatkan.

Dengan pendekatan yang santun dan konten yang mencerahkan, penyuluh agama Islam mampu menjadi “influencer” kebaikan yang merangkul generasi muda.

Penyuluh agama Islam adalah sahabat sejati masyarakat. Mereka tidak hanya membimbing dalam urusan ibadah, tetapi juga menemani umat dalam menjalani kehidupan sosial yang penuh tantangan. Dengan semangat syiar yang damai, penyuluh berperan merawat kebersamaan, menjaga harmoni, dan menguatkan persaudaraan.

Di tengah arus perubahan zaman, peran mereka semakin relevan: menjadi penyejuk hati di kala resah, sahabat di kala susah, dan penuntun di jalan kebaikan.